YOGYA, Problem implementasi hukum terkait perceraian di masyarakat Dayak Kalimantan menjadi obyek penelitian Azim Izzul Islam, Hakim Pengadilan Agama yang sedang menempuh studi pada Progam Studi Doktor Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII). Penelitian diadakan untuk penyusunan disertasi yang diujikan pada Sidang Terbuka Ujian Doktor FIAI UII, Rabu 7 Mei 2025 di Gedung KHA Wahid Hasyim, Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang km 14,4, Sleman.
Sebagai ketua sidang ujian terbuka doktor yakni Dr. Nur Kholis, SEI., M.Sh.Ec, dibantu sekretaris Dr. Anisah Budiwati, S.HI., M.SI. Adapun sebagai promotor Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, M.A dan kopromotor Dr. M. Roy Purwanto, M.Ag. Didampingi penguji pertama Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M. Hum dari Fakultas Hukum UII dan penguji berikutnya, Prof. Dr. Amir Mu’allim, MIS serta Dr. Agus Sudaryanto, S.H., M.Si
Azim Izzul Islam menempuh studi doktor selama 3 tahun 2 bulan dengan pembelajaran terstruktur pada Program Doktor Hukum Islam di FIAI UII. Kesehariannya, Azim berprofesi sebagai Hakim Agama pada salah satu Pengadilan Agama. Menempuh studi program doktor, menyusun disertasi berjudul Tinjauan Pluralisme Hukum dan Interlegalitas Terhadap Hukum Perceraian di Masyarakat Dayak. Disertasi disusun dari penelitian pada masyarakat Dayak, Kalimantan.
“Terdapat 3 problem akademik pada masyarakat Dayak, yakni eksistensi Lembaga Adat Dayak yang disebut Kedamangan dan kewenangannya dalam bidang perceraian adat. Kedua, konflik hukum tentang kesepakatan perceraian dalam singer hatulang palekak sama handak. Ketiga, interaksi hukum saat keputusan lembaga kedamangan masuk ke dalam proses litigasi,” jelas Azim, mahasiswa UII kelahiran tahun 1991 ini.
Menurut Azim, hakim terikat dengan peraturan perundang-undangan. Kesepakatan perceraian tidak mendapatkan tempat dalam hukum negara. Meskipun demikian, hakim tetap memperhatikan anasir-anasir perceraian adat Dayak dalam pertimbangan putusan atau penetapannya.
Tambahanya, respon hakim terhadap anasir adat dan perbedaan pendapat merupakan proses dan hasil dari interlegalitas. Konflik hukum ditangani oleh hakim yang akan mendorong sekaligus berkontribusi bagi pembaharuan hukum perkawinan. Koeksistensi sistem hukum harus diawali dari kepekaan hakim terhadap nilai atau norma di luar hukum positif. Disertasi ini mengusung novelty dengan 2 item kebaruan yaitu pluralisme hukum dan interlegalitas.
“Pluralisme hukum, yakni gagasan pembaharuan hukum yang mengakomodir prinsip yang bersesuaian (mempersulit/mencegah perceraian) dalam masing-masing sistem hukum dengan penyaluran dan harmonisasi hukum perceraian, melalui beberapa cara. Pertama, pelembagaan isbat talak. Kedua, amandemen alasan perceraian. Ketiga, penegasan keputusan adat sebagai akta otentik,”kata pria kelahiran Brebes Jawa Tengah.
“Pembaharuan Hukum Perkawinan harus dilakukan dengan paradigma berwawasan pluralisme hukum yang mengakomodir norma hukum non negara. Putusan Hakim Pengadilan Agama di Kalimantan dapat menjadi alternatif materi pembaharuan hukum,”kata Azim (YK 01)