Masyarakat Indonesia dikejutkan ulah debt collector atau penagih utang yang anarkis di sebuah pabrik pabrik baja ringan di Jalan Daan Mogot KM 11 Cengkareng, Jakarta Barat pada Senin (12/5/2025) sore. Debt collector di Indonesia bukan sosok yang kebal hukum, meskipun mendapat backing dari oknum aparat pun, tetap mendapat perlakuan yang sama di mata hukum.
AKP Dimitri Mahendra, Reskrim Polres Metro Jakarta Barat mengatakan pihak kepolisian sudah menerima laporan terkait peristiwa debt collector anarkis, dan langsung melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP).
“Kami lakukan olah TKP dan saksi untuk mendapatkan petunjuk demi menangkap pelaku yang meresahkan masyarakat,” kata AKP Dimitri Mahendra, Selasa (13/5/2025).
Perbuatan meresahkan yang dilakukan oleh pelaku berjumlah 4 orang itu juga terekam kamera CCTV. Pelaku tampak menggoyang-goyangkan pagar pintu masuk, sampai akhirnya berhasil masuk ke dalam area pabrik.
Debt collector berjumlah 4 orang dengan nada suara keras terkesan membentak kemudian memanggil nama yang tertera di dalam surat perintah penagihan yang dibawanya. Sejumlah pegawai pabrik kemudian memutuskan untuk merekam peristiwa tersebut. Parahnya, salah satu pegawai berinisial C malah mendapatkan kekerasan fisik dari pelaku.
Secara hukum debt collector yang melakukan kekerasan saat menagih hutang merupakan pelanggaran atas aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan dapat dikenakan sanksi. OJK melarang penggunaan kekerasan, ancaman, dan tindakan yang mempermalukan debitur saat menagih utang, sesuai dengan Peraturan OJK Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.
Masalah umum yang terhadi, debt collector adalah pihak ketiga, yang bukan bagian dari perusahaan keuangan, namun berdiri sendiri dalam naungan sebuah perusahaan jasa. Sehingga dalam proses penagihan, pihak ketiga tersebut diwajibkan membawa sejumlah surat dan dokumen. Sesuai ketentuan POJK 35/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Dalam Pasal 48 ayat (1) POJK 35/2018 menerangkan bahwa perusahaan pembiayaan dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain atau sering disebut pihak ketiga untuk melakukan fungsi penagihan kepada debitur. Juga dilemgkapi dalam Pasal 48 ayat (3) POJK 35/2018, kerja sama yang dimaksud harus memenuhi ketentuan:
Ketentuan dalam penagihan sesuai hukum yang berlaku, menekankan pada aspek:
- Debt collector harus menggunakan identitas resmi dari bank atau pemberi kredit yang dilengkapi dengan foto diri.
- Proses penagihan harus dilakukan tanpa ancaman, kekerasan, dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan debitur.
- Proses penagihan dilarang dengan menggunakan kekerasan dan tekanan fisik atau verbal.
- Sasaran penagihan hanya dapat dilakukan kepada pihak debitur, selain pihak tersebut adalah dilarang.
- Penagihan melalui sarana komunikasi dilarang dilakukan secara terus-menerus yang bersifat mengganggu, misal melalui telepon dengan calling berkali-kali dalam sehari.
- Penagihan hanya dapat dilakukan di tempat sesuai alamat penagihan atau domisili debitur.
- Penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan 20.00 wilayah waktu alamat debitur.
- Penagihan di luar domisili atau waktu yang ditentukan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan debitur dalam bentuk tertulis.
Indonesia adalah negara hukum, sehingga debt collector pun harus tunduk pada hukum yang berlaku.