Kemerdekaan dan Tekanan Ekologis

oleh -32630 Dilihat
Kiri bertoga: Widodo Brontowiyono, bersama rekan sesama guru besar FTSP UII, Prof. Ar. Ilya Fadjar Maharika dan Prof. Eko Siswoyo
Kiri bertoga: Widodo Brontowiyono, bersama rekan sesama guru besar FTSP UII, Prof. Ar. Ilya Fadjar Maharika dan Prof. Eko Siswoyo

Kemerdekaan dan Tekanan Ekologis
Oleh: Widodo Brontowiyono

Setiap tanggal 17 Agustus kita selalu merayakan kemerdekaan. Peringatan kemerdekaan tahun 2025 ini, terasa “penjajahan” baru datang dari krisis lingkungan: udara kotor, air tercemar, pangan tertekan, mikroplastik merambah, hingga tata kelola yang bocor. Pertanyaannya sederhana: saat Indonesia berusia 100 tahun pada 2045 nanti, kita panen bonus demografi—atau justru “bonus masalah”?

Proyeksi resmi pemerintah (Bappenas) memperkirakan penduduk Indonesia bisa mencapai ±324 juta jiwa pada 2045—kenaikan lebih dari 54 juta dari 2020. Jendela bonus demografi terbesar terjadi 2030–2045, ketika porsi usia produktif mencapai ~64% penduduk. Peluang ini nyata—tetapi hanya jadi berkah bila kualitas lingkungan menopang produktivitas (air bersih, udara layak hirup, pangan sehat).

Laporan Bank Dunia tentang “Indonesia Vision 2045: Toward Water Security” menunjukkan fakta bahwa lebih dari setengah sungai Indonesia berada pada kategori tercemar berat; di lokasi yang dipantau, ~85% penduduk terpapar pencemaran fekal pada sumber air. Artinya, beban penyakit berbasis air akan terus tinggi jika pengendalian pencemaran tak diperkuat. Data KLHK dari jaringan pemantauan menunjukkan sebagian besar status mutu sungai memang “cemar ringan”—tetapi itu tetap di bawah baku mutu untuk pemanfaatan aman, sehingga komplementer dengan temuan Bank Dunia tadi.

Implikasinya ke ekonomi langsung: air tercemar = biaya pengolahan naik, produktivitas turun, dan risiko krisis air perkotaan–industri meningkat. Tanpa loncatan tata kelola terkait penegakan baku mutu, on-line monitoring dieksekusi, pengurangan beban limbah domestik & industri di DAS prioritas, bonus demografi tergerus biaya eksternalitas.

Laporan kualitas udara 2024 menempatkan Indonesia sebagai terburuk di Asia Tenggara dan peringkat 15 terburuk global; Jakarta kerap bertengger di klasemen kota-kota paling tercemar harian. Dampaknya? Peningkatan penyakit kardiovaskular–paru, penurunan kapasitas belajar–kerja, dan biaya kesehatan menggunung.

Beberapa tahun terakhir, laju deforestasi cenderung menurun menurut publikasi resmi (State of Indonesia’s Forests 2024). Namun tahun 2024 ada sinyal kurang baik: deforestasi naik lagi (tertinggi sejak 2021), banyak terjadi dalam konsesi legal dan menyentuh habitat satwa kunci. Ini menandakan pekerjaan rumah integritas perizinan–pengawasan belum selesai.

Konsekuensi ekologis dari deforestasi legal–ilegal sama: debit dasar sungai menurun, sedimen dan nutrien meningkat, banjir–kekeringan makin ekstrem, produktivitas lahan pertanian menurun—pada akhirnya, pangan makin rentan dan biaya perlindungan sosial naik.

Riset-riset terbaru memotret Indonesia sebagai hotspot paparan mikroplastik—mulai dari pesisir, badan air, hingga udara. Model global (Cornell) memperkirakan asupan diet mikroplastik penduduk Indonesia ~15 gram/bulan (tertinggi secara global dalam model tersebut). Organisasi masyarakat sipil melaporkan potensi inhalasi puluhan partikel per hari, dan studi-studi perairan Nusantara menemukan mikroplastik luas di subsurface dan estuaria, dengan fragmen–serat dominan. Warna hitam sering mendominasi fraksi yang ditemukan di sungai perkotaan (indikasi sumber ban—jalan, soot, atau degradasi plastik berwarna gelap). Dampak kesehatan—dari inflamasi hingga potensi karsinogenik—kian dikuatkan literatur.

Secara global, angka kerawanan pangan tetap tinggi tiga tahun berturut-turut; Indonesia relatif lebih baik daripada rata-rata kawasan, tetapi tekanan harga pangan, degradasi sumber daya air–tanah, dan cuaca ekstrem menjaga risiko tetap tinggi. Ini mempertegas bahwa ketahanan pangan tak bisa dipisahkan dari ketahanan lingkungan.

Skor CPI 2024 Indonesia = 37/100 (peringkat 99)—melemah dari ambang yang kita butuhkan untuk lompatan kebijakan lingkungan. Korupsi menurunkan efektivitas pengawasan, memperlemah insentif hijau, dan membiaskan prioritas anggaran. Tanpa perbaikan integritas, investasi lingkungan akan “bocor” sebelum memberi dampak.

Harari mengingatkan bahwa peradaban modern sering menciptakan “kemerdekaan semu”—bebas secara politik, tetapi terjerat sistem yang merusak daya dukung bumi. Kemerdekaan abad ke-21 adalah kemampuan mengelola kompleksitas: menahan polusi udara, memulihkan DAS, merestorasi hutan–pesisir, memangkas plastik sekali pakai dan mikroplastik, serta membangun institusi berintegritas untuk menjaga konsistensi kebijakan.

Prioritas 3–5 tahun ke depan (agar 2045 jadi bonus, bukan beban): 1. Air: wajibkan on-line monitoring effluent & kualitas sungai (dengan sanksi tegas), percepat IPAL komunal–industri, dan restorasi riparian di DAS prioritas; 2. Udara: standar emisi dan pengawasan pembangkit/industri–transport, perluasan transport publik & elektrifikasi, serta early warning kesehatan publik saat PM2.5 melonjak; 3. Ekosistem: hentikan “deforestasi legal” yang merusak habitat kritis; dorong insentif berbasis kinerja tata guna lahan; 4. Plastik: target pengurangan plastik sekali pakai, EPR yang ditegakkan, riset–monitoring mikroplastik nasional (air–udara–pangan) yang seragam metodenya; 5. Integritas: perkuat pengawas, digitalisasi perizinan–rantai nilai kehutanan, open data IKLH-PM2.5 real-time untuk akuntabilitas publik.

Merdeka, hari ini, berarti lapang napas, jernih air, tegak hutan, bersih birokrasi. Tanpa itu, bonus demografi 2045 bisa berubah menjadi beban generasi. Tugas kita adalah memastikan sang saka berkibar di langit yang bersih, di atas tanah yang subur, dengan air yang layak diminum oleh anak cucu. Semoga warga masyarakat Indonesia semakin sehat dan sejahtera atas ridho Nya.

(Penulis adalah Mahasiswa PSPPI Universitas Atma Jaya Jakarta; Dosen Teknik Lingkungan UII; Koordinator Bidang Lingkungan Hidup dan Kesehatan Masyarakat – ICMI DIY)