Mencari Kampus Jangan Terjebak Dikotomi PTN vs PTS

oleh -24598 Dilihat

Opini: Widodo Brontowiyono (Staff pengajar di Jurusan Teknik Lingkungan UII)

Setiap tahun ajaran baru, sejumlah SMA/SMK berlomba-lomba memamerkan banyaknya lulusan yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Ucapan selamat, baliho besar atau poster digital, bahkan kampanye di media sosial menjadi alat branding. Ironisnya, semua itu seolah menegaskan bahwa sepertinya keberhasilan pendidikan hanya diukur dari statistik penerimaan alumni pada PTN. Narasi ini membentuk dikotomi antara PTN yang terkesan “bergengsi” dan PTS yang terkesan “cadangan”. Padahal, banyak PTS memiliki kualitas akademik dan non-akademik yang setara bahkan melampaui PTN. Hal ini meliputi 3 aspek tri darma Perguruan Tinggi yakni Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat.

Pendidikan bukan sekadar pintu masuk menuju universitas negeri. Sesuai UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab. Maka, keberhasilan pendidikan di SMA/SMK seharusnya diukur dari bagaimana lulusan siap menghadapi dunia nyata dengan karakter, kapasitas, dan nilai kemanusiaan yang kuat.

Thomas J. Stanley dalam penelitiannya terhadap para miliuner di Amerika menunjukkan bahwa asal sekolah bukanlah penentu utama kesuksesan seseorang. Lima (5) besar faktor kesuksesan justru adalah: (1) kejujuran, (2) disiplin, (3) kemampuan berelasi, (4) kerja keras, dan (5) mencintai pekerjaan. Ini adalah kualitas karakter, bukan ijazah dari lembaga atau perguruan tinggi ternama.

Lebih dari itu, kita juga perlu cemas dengan arus peradaban yang kian instan. Generasi muda kita dihadapkan pada budaya viral, keinginan instan tanpa proses, dan lemah dalam menghadapi tekanan. Fenomena “generasi stroberi” yang tampak indah di luar tapi rapuh di dalam semakin nyata. Belum lagi tantangan era digital, disrupsi AI, dan krisis moral di tengah laju informasi yang tak terbendung.

Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus dan 21 Lessons for the 21st Century menyebut bahwa generasi mendatang akan hidup dalam dunia yang dipenuhi ketidakpastian – pekerjaan hilang digantikan algoritma, krisis iklim meluas, dan manusia akan mengalami “kebingungan makna”. Dalam dunia seperti ini, yang paling dibutuhkan bukanlah semata-mata IPK tinggi atau almamater terkenal, tapi kemampuan adaptasi, berpikir kritis, dan integritas moral yang kuat. Tentu saja IPK juga penting, minimal sebagai alat masuk dunia kerja yang masih sering mencantumkan syarat IPK minimum untuk bisa masuk ke suatu instansi tertentu.

Dalam Islam, definisi sukses tidak diukur dari jabatan atau harta, tapi dari manfaat. Rasulullah  bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Ahmad). Maka tolok ukur keberhasilan lulusan dari suatu Lembaga pendidikan adalah apakah ia membawa manfaat untuk masyarakat banyak, bukan semata-mata di mana ia sekolah atau kuliah.

Sudah waktunya kita ubah narasi keberhasilan pendidikan. Yang harus dibangun sekarang adalah karakter kuat, wawasan luas, jiwa kepemimpinan, daya juang, dan kesadaran spiritual. Dunia masa depan butuh pemuda yang tahan banting, bukan hanya pandai hitung-hitungan nilai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.